Aku dan Anakku

Sabtu, 09 Maret 2013 · Posted in

Hari itu, aku mengikuti lintas alam keluarga yang diselenggarakan oleh perkumpulan di mana aku menjadi anggotanya. Diharapkan setiap peserta terdiri dari suami dan isterinya. Tetapi dengan alasan yang dapat diterima panitia, ada beberapa suami yang didampingi anak gadisnya dan ada juga beberapa isteri yang didampingi oleh puteranya. Aku termasuk di antaranya karena aku harus didampingi oleh anak lelakiku Hendro yang berusia 17 tahun dan sudah duduk di bangku Kelas II SMA. Ini terjadi karena suamiku sejak seminggu yang lalu sedang tugas di luar kota mengikuti training Kepala Group Shift. Training itu akan berlangsung selama sebulan.
Pada pukul 16.00 WIB tepat, rombongan dilepas panitia untuk melakukan jalan lintas alam melewati hutan yang sangat lebat dan yang ada hanya jalan setapak, yang biasa dilalui oleh orang desa sekitar untuk mengambil hasil hutan ataupun air nira. Pada waktu panitia melakukan survei mengenai kondisi perjalanan, diperkirakan bahwa berdasarkan perkiraan atas kondisi peserta, diharapkan semua peserta dapat melintasi rute tersebut paling lama 3 jam, sehingga paling lambat pada pukul 19.00 WIB seluruh peserta diharapkan sudah mencapai finish. Aku dan Hendro berada paling depan sekali, karena di samping kami memang peserta nomor 1, Hendro juga sangat bersemangat dalam melakukannya, sehingga semangatnya menjalari aku pula. Tak jarang ketika harus melewati jalan yang agak susah bagiku untuk melewatinya, Hendro menggendongku di punggungnya. Dengan demikian, kami meninggalkan peserta terdekat sekitar 500 meter. Walaupun jaraknya hanya seperti itu, tapi melewatinya agak susah, karena hutan yang lebat, dan jalan yang kami lalui pun hanya jalan setapak
Setelah kurang lebih setengah jam melakukan perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan sangat lebatnya yang membuat kami mendengar suara para peserta yang ribut dan pontang-panting mencari tempat berteduh sesuai dengan instruksi panitia yang ikut dalam rombongan. Demikian juga halnya aku dan Hendro. Untunglah tidak jauh di depan kami ada sebuah gubug. Kami cepat-cepat masuk ke dalamnya. Di dalam gubug itu terdapat sebuah meja berukuran lebar 1 meter dan panjangnya 2 meter. Di samping itu terdapat bangku panjang. Aku dan Hendro duduk di bangku tersebut.
Aku lalu mengeluarkan bekal kami berupa air mineral dan biskuit. Kami lalu menyantapnya, menunggu hujan berhenti. Tapi kenyataannya hujan makin lama makin lebat. Panitia menghubungi kami mengatakan bahwa lintas alam dibatalkan, dan semua peserta diharapkan tetap berada di tempatnya berteduh sekarang, dan apabila nanti hujan sudah reda, baru berkumpul kembali untuk pulang. Dan pesan panitia, apabila hujan turun sampai malam, maka begitu hujan reda, peserta diharapkan tidak kemana-mana tapi menunggu panitia yang akan datang menjemput.
Dan memang benar, walaupun waktu hampir pukul 19.30 WIB dan sudah sangat gelap sekali, hujan masih tetap lebat. Suasana sangat mencekam bagiku, karena berada dalam hutan lebat dan suasana sangat gelap. Suara hujan yang sanat lebat juga kedengarannya sangat mengerikan ditambah sesekali suara petir menggelegar, sungguh menakutkan. Memang aku ditemani oleh Hendro, tapi aku tidak dapat melihatnya karena suasana sangat gelap.
“Hendro?” panggilku pelan ketakutan
“Iya Ma?” sahutnya
“Mama takut sama gelap, apa kau tidak membawa senter?” tanyaku
“Nggak ada Ma, siapa yang menyangka sampai malam begini. Huh.... hujan sialan!!” jawabnya lagi
“Mama takut Hen” ucapku dengan suara menggeletar ketakutan.
Hendro lalu menggeser duduknya mendekatiku dan memelukku, membuat aku merasa aman dan takutku hilang. Akupun ikut bergeser mendekatkan dudukku ke arah Hendro. Ada beberapa lama kami terdiam dalam posisi Hendro memeluk pundakku dan aku memeluk pinggang Hendro. Tapi tiba-tiba aku tersentak kaget, ketika tangan Hendro yang memeluk pundakku sudah menjalar dan menyelusup masuk ke dalam t-shirt yang kukenakan, bahkan ke dalam BH ku dan mulai mengelus-ngelus payudaraku.
“Hen?!” tegurku dengan suara yang sedikit keras.
Hendro tidak menyahut, tapi tangannya tidak lagi mengelus, tapi merogoh lebih jauh ke dalam BH-ku dan meraup tetekku dan meremas-remasnya dengan lembut.
“Hendro jangan! Aku ibu kandungmu!” bentakku keras dan mencoba meronta.
Aku menarik nafas lega, karena Hendro menghentikan kegiatannya. Tapi aku agak cemas, karena Hendro lalu menjauhkan duduknya dariku. Aku diam saja dan membiarkannya, karena masih marah akibat perlakuannya tadi yang benar-benar kurang ajar. Hendro juga tidak berkata apa-apa.
“Hendro, kau tidak boleh melakukan itu. Mama kan ibu kandungmu” tegurku akhirnya dengan lembut.
“Ma, aku sejak tadi sudah terangsang. Ketika Mama Hendro gendong tadi, tetek Mama kan menekan-nekan punggungku” sahut Hendro dengan suara perlahan.
“Masak kau bisa terangsang sama mamamu sendiri” kataku masih tetap dengan suara lembut.
Hendro tidak menjawab. Akupun diam. Setelah beberapa lama kami terdiam, takutku muncul lagi, karena suara hujan yang lebat dan kegelapan di sekitar kami, serta aku tidak mendengar suara Hendro.
“Hen?” panggilku cemas, dan aku makin ketakutan karena Hendro tidak menjawab. Aku menggeser dudukku mencoba menyentuh tubuhnya. Tapi walaupun aku sudah mencapai pinggiran bangku yang kududuki, Hendro tetap tidak dapat kusentuh. Berarti dia sudah bangkit dari bangku ini. Jadi kemana dia???
“Hen???” seruku panik, tetap tidak ada jawaban.
“Hendrooooo!” kembali aku berseru dengan suara yang penuh ketakutan.
“Iya Mam?” Hendro menjawab. Dari suaranya kudengar dia agak jauh dariku. Ke arah pintu gubug. Aku menarik nafas lega. Kuajak Hendro bercakap-cakap. Tapi Hendro diam saja, tidak ada menjawab sekalipun. Dalam kegelapan seperti itu, ditingkah suara hujan, membuat kudukku kembali merinding.
“Hendro, di mana kau Hen?” tanyaku dengan suara menahan tangis karena ketakutan. Kuatir sudah ditinggal pergi oleh Hendro. Tetap tidak ada jawaban. “Hendro jangan pergi Hen!” seruku lagi dengan cemas.
Tiba-tiba Hendro sudah duduk lagi di sampingku kurasakan pelukannya kembali di pundakku.
“Hendro..... Mama takut......” rintihku sambil memeluk dirinya.
Hendro tidak menyahut. Tapi kurasakan bibirnya sudah menciumi leherku dengan lembut. Aku menggelinjang kegelian. Rasa marahku kembali muncul. Tapi aku merasa serba salah. Kalau kularang, dia mungkin akan mendiamkan aku seperti tadi, sedangkan hujan ini entah kapan akan reda. Tapi kalau kudiamkan, bagaimana mungkin aku akan disetubuhi oleh anak kandungku sendiri? Aku masih diam kebingungan, dan Hendro yang melihat aku hanya diam, makin merapatkan duduknya. Tangan kanannya tetap memeluk pundakku. Aku hanya terdiam serba salah. Nafas Hendro yang makin memburu terasa panas ketika tetap menciumi leherku
Hendro lalu memutar kepalaku sehingga menghadap ke arahnya, lalu tangan kirinya menopang bagian belakang kepalaku. Bibirnya menyentuh mukaku mencari bibirku dan begitu ketemu langsung dilumatnya dengan ganas. Ciumannya membuat aku megap-megap, kudorong dia tapi hanya badannya yang sedikit menjauh. Karena tangannya menekan dari belakang kepalaku membuat lumatan bibirnya di bibirku sangat erat. Aku terpaksa bernafas melalui hidung. Karena ketika kucoba melalui mulut, jelas tidak bisa karena disekap mulut Hendro. Dan malahan begitu tadi mulutku sedikit terbuka, lidah Hendro langsung menyelusup masuk ke mulutku. Aku menggelinjang kegelian ketika ujung lidah anak kandungku ini menyapu langit-langit mulutku. Kucoba mendorong lidahnya keluar dengan lidahku. Hendro bukannya menarik lidahnya keluar dari mulutku, tapi dia menggunakan lidahnya untuk mendorong lidahku. Demikianlah lidah kami saling dorong, saling pilin dan saling piuh. Kadang-kadang memang dia tiba-tiba menarik lidahnya dari mulutku. Tapi karena saat itu lidahku sedang mendorong lidahnya tersebut, otomatis lidahku terdorong memasuki mulut Hendro. Karena aku tadi merasa geli, maka untuk membalasnya kugunakan ujung lidahku untuk menyapu langit-langit mulutnya. Hendro membiarkannya. Dengan lidahnya disapu-sapunya bagian bawah lidahku. Aku mulai menikmati permainan lidah kami yang kami lakukan dalam kegelapan hutan belantara. Ditambah lagi, Hendro kemudian menggunakan tangan kanannya untuk menarik bagian bawah T-shirt yang kukenakan ke atas, lalu BH-ku juga diangkatnya ke atas, membuat payudaraku yang sudah mulai mengeras melompat keluar dari sekapannya. Tangan kanan Hendro langsung menyambar tetekku yang sebelah kiri dan meremas-remasnya. Kadang-kadang lembut, kadang keras dan ganas. Jempol dan telunjuknya menjepit puting tetekku, dan sering diputar-putarnya seperti orang memutar tombol radio untuk mencari siaran. Aku benar-benar sangat menikmati perlakuan Hendro.
Tiba-tiba Hendro menggendongku, lalu meletakkanku berbaring di atas meja di depan kami. Dan dia langsung menindihku
“Hendro, apa yang mau kau lakukan terhadap Mammmmmmghghgh!” suaraku terhenti, karena bibir Hendro sudah melumat bibirku dengan ganas. Tangan kirinya mengangkat pinggangku, dan tangan kanannya menarik turun celana training dan sekaligus celana dalam yang kupakai. Lalu mulutnya menyerbu tetekku, sedangkan kedua tangannya meneruskan menarik turun celana dan celana dalamku sehingga menumpuk di atas mata kakiku. Lalu dia juga menurunkan celana training dan celana dalamnya sampai ke mata kakinya.
“Hendro....... ughghgh..... adduhhhhh..... ughghgh!” rintihku
Hendro diam saja, tangannya menguakkan kedua belah kakiku dan menempatkan dirinya di antaranya. Aku merinding, ketika merasakan kontolnya yang sudah sangat tegang menyentuh pangkal pahaku.
“Hennnddrrooooo..... nantiiii addaaaa orangngng dattangng!” Aku mencoba mengingatkannya.
“Hujjaannn masssihhhh derrrrassss khkhkhkhannnn Mmmma..... ssiappaaa yangngng mmmauuuu dattangh....” sahut Hendro dengan nafas yang tidak kalah memburunya. Dia kemudian duduk, lalu menarik kedua belah kakiku sehingga pahaku mengangkang lebar. Aku menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Tangan kiri Hendro meraba-raba memekku untuk menyisihkan jembutku yang tebal yang menutupi lubang memekku. Lalu dengan jari kirinya dikuakkannya bibir memekku, dan menuntun kontolnya ke arah memekku. Aku menggeletar ketika kurasakan bibir memekku sudah menjepit ujung kontol anak kandungku. Aku tidak lagi memberontak, bahkan menunggu dengan sabar. Hendro kembali menindihku, tangannya mencari tetekku dan mulai meremasnya, bibirnya mencari dan begitu menemukan bibirku, dilumatnya dengan penuh nafsu dan kubalas dengan hangat. Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Hendro mulai menurunkan pinggulnya, mendorong kontolnya memasuki memekku yang dari tadi sudah sangat basah. Agak sulit pada awalnya, tapi kemudian Hendro semakin lancar mendorong kontolnya. Dan akhirnya ..... slleebbbbb...... Aku hanya melenguh keras, ketika kontol anak kandungku itu sudah melesak masuk dan akhirnya terbenam seluruhnya ke dalam memekku. Pangkal paha kami menempel ketat, membuat jembut kami saling menggesek. Ketika Hendro mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, membuat kontolnya keluar masuk di dalam memekku, aku tidak lagi malu-malu. Tanganku memeluk erat tubuh Hendro Pinggulku juga mulai kugerak-gerakkan mengimbangi gerakan pinggul Hendro. Walaupun pakaian kami berdua sedikit mengganjal di antara kami. Karena T-shirtku dan BH-ku hanya diangkat ke atas, dan celana serta celana dalam kami berdua hanya diturunkan sampai ke mata kaki kami.
“Mama...... Mama.....!” kata Hendro kenikmatan, lalu menciumi leherku. Tangannya meraup tetekku dan meremas-remasnya. “Adduhhh Ma, ennnnak sekkkkaliiiiii...... Mammmmmaaaaa ..........” rintihnya penuh dengan kenikmatan sambil tetap menggenjot memekku.
“Iya Hen..... tapi jangngngannn lammma lammma nanntiii pann.....nitia keb....bur....ruuu datt...tangngng.......!” sahutku dengan nafas yang tak kalah memburu.
Hendro tidak menyahut, tapi kembali melumat bibirku. Aku benar-benar merasakan sensasi rasa yang sangat luar biasa nikmat. Memekku dientot, tetekku diremas-remas dan bibirku dilumat. Wahhhhhh, aku tak mampu lagi melukiskan kenikmatan yang sedang kurasakan. Genjotan kontol Hendro di memekku makin lama makin teratur dan khidmat. Kuimbangi dengan memutar-mutar pinggulku. Walaupun akibatnya punggungku menjadi sedikit sakit, karena tempatku berbaring hanyalah meja kayu yang sedikit kasar. Tapi kami berdua tidak perduli. Kami berdua seakan berlomba untuk mencapai puncak kenikmatan.
Tak lama kemudian, aku merasakan ada yang ingin mendesak keluar. Aku tak mampu lagi menahan diri. Tangan kiriku meremas-remas bongkahan pantat Hendro yang bergerak teratur, sementara tangan kananku mengacak-acak rambut Hendro, mataku terbeliak. Dan akhirnya..... Tanganku menjambak rambut Hendro dengan keras. Saat itulah dengan melenguh keras aku mencapai orgasme. Memekku meletupkan cairan kenikmatan, melumuri kontol Hendro yang masih bergerak teratur di dalam memekku yang sekarang menimbulkan suara seperti suara orang yang mengenakan sepatu dan berjalan di dalam lumpur.
Aku menghela nafas kenikmatan. Tapi aku lalu terpekik sesak, ketika Hendro menghunjamkan kontolnya keras-keras ke dalam memekku dan tidak menariknya lagi. Dengan cemas aku mencoba menghalangi, tapi sebelum aku sempat melakukan apa-apa, tiba-tiba craatttt......creeettttttt.......crroottttt ............. kontol Hendro mengejut-ngejut di dalam memekkku, menyemburkan air maninya yang hangat dan sangat kental dan ternyata sangat banyak, sehingga luber keluar dari memekku dan membasahi pangkal paha kami yang kini menempel sangat erat. Terasa sangat lengket. Aku kembali hanya mampu menghela nafas, menerima kenyataan rahimku menerima semburan sperma anak kandungku sendiri. Hendro sudah terkulai lemas dengan posisi masih menindihiku, tangannya tetap mempermainkan puting tetekku. Kontolnya masih terbenam seluruhnya di dalam memekku yang terasa lengket. Karena air mani Hendro yang tadi disemprotkannya di dalam memekku itu telah teraduk-aduk dengan cairan kenikmatan yang sebelumnya disemburkan oleh memekku sendiri.
Setelah beberapa lama, aku menolakkan tubuh Hendro dari atas tubuhku. Hendro menurut dan duduk, aku juga ikut bangkit duduk. Aku menarik celana dalamku ke atas, lalu menggosok-gosokkannya untuk melap sperma Hendro yang membasahi pangkal pahaku. Baru kemudian aku juga menaikkan celana trainingku. Kedua tetekku juga kumasukkan kembali ke dalam BH-ku, lalu menurunkan T-shirtku menutupinya. Hendro juga kudengar ikut merapikan pakaiannya. Kami turun dari meja itu dan kembali duduk di atas bangku tadi.
“Makasih Ma! Tubuhmu sangat nikmat sekali Ma.....” bisik Hendro setelah mencium bibirku lembut.
“Tapi kenapa kau tumpahkan spermamu di dalam tadi Hen?” tanyaku lirih
“Maaf Ma, Hendro tadi enggak mampu menahannya lagi. Maaf ya Ma?” sahut Hendro
“Iya sudah, tapi jangan bilang siapa-siapa ya?” pintaku dengan suara lemah
“Beres Ma!” sahut Hendro. Lalu kami kembali terdiam. Tapi tubuh kami saling bersinggungan, membuat aku yakin Hendro tidak meninggalkan kami.
Kurang lebih pukul 21.30 WIB, ketika hujan sudah agak reda, sesuai dengan janjinya, panitia menjemput kami dan setelah semua berkumpul, panitia hanya bisa meminta maaf, karena acara lintas alam keluarga ini tidak bisa berlangsung sesuai dengan rencana akibat turunnya hujan lebat. Kemudian dengan menggunakan bus yang sudah datang menjemput, kami diantar satu per satu ke rumah kami masing-masing.
Dengan menggunakan kunci, aku membuka pintu rumah kami. Hendro masuk dan menyalakan lampu. Aku kembali menguncikan pintu dan memasang selotannya. Baru aku mau berbalik, ketika tubuhku sudah dipeluk Hendro dari belakang. Aku mengejang karenanya. Tapi bibirnya sudah mennciumi leherku dan tangannya menangkup di atas kedua tetekku yang masih berada di dalam BH-ku dan tertutup kaus training yang kukenakan. Walaupun begitu, kedua tangan Hendro tetap meremas kedua tetekku, sambil bibirnya tetap menciumi leherku.
“Apa belum cukup yang tadi Hen?” tanyaku lirih dengan menghela nafas berat.
Hendro tidak menjawab, tapi langsung menggendongku dan membawaku masuk ke dalam kamar tidurku, serta membaringkan aku di atas ranjang. Dengan lembut dia mulai membukai semua pakaianku sampai aku benar-benar telanjang bulat di depan kedua mata anak kandungku sendiri, Aku merapatkan kedua pahaku untuk mencoba menyembunyikan memekku dan kedua tanganku menyilang di dadaku menutupi kedua tetekku. Tapi Hendro hanya tersenyum, sambil membukai seluruh pakaian yang dikenakannya sehingga dia juga sudah telanjang bulat seperti diriku. Aku merasa jengah. Tadi memang aku sudah disetubuhi Hendro. Tapi itu kami lakukan dalam gelap. Sekarang lampu begitu terang bersinar, dan kami saling menatap dalam keadaan tubuh yang bugil. Ahhhhh.......!
Hendro lalu naik ke atas ranjang, dan mulai menindihku. Menguakkan pahaku dan menempatkan pinggulnya terjepit di antara kedua pangkal pahaku. Dengan lembut dihelanya kedua tanganku dari atas kedua tetekku, lalu tangannya yang sebelah kanan mulai meremas-remas tetekku yang sebelah kiri. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain balas memeluk tubuh Hendro. Ketika bibirnya melumat bibirku, aku membalasnya dengan hangat dan mesra.
Tangan kiriku malah turun ke bawah dan menggenggam kontol Hendro, lalu mengelus-ngelusnya dan memijat-mijatnya juga dengan lembut. Sekali-sekali, kantong pelirnya yang kuelus-elus. Dan aku dengan cepat merasakan akibat perbuatanku. Karena kontol itu sudah sangat tegang dan keras kembali. Terasa berdenyut dalam genggamanku. Akhirnya karena aku juga merasakan memekku sudah basah sekali, maka tanganku menuntun kontol Hendro untuk menerobos memasuki memekku. Dan kami berdua secara berbareng memekik kecil penuh nikmat, ketika kontol Hendro sudah terbenam seluruhnya dengan sempurna di dalam memekku. Hendro kembali menggerakkan pinggulnya menggenjot memekku, yang kuimbangi dengan memutar pinggulku.
Kadang kuputar searah putaran jarum jam, lalu sekonyong-konyong kubalikkan arah putarannya dengan sebelumnya. Tidak jarang aku menuliskan angka delapan di kasur dengan pinggulku. Sekali-kali kungkat pinggulku tingi-tinggi ke atas justru bertepatan ketika Hendro menurunkan pinggulnya untuk menyodokkan kontolnya di memekku. Hal itu membuat hunjaman kontol di memekku terasa sangat mantap. Ujung kontol anak kandungku itu tidak hanya menyentuh tapi mampu menekan kacangan yang berada di dasar memekku.
Nafas kami saling memburu. Keringat kami juga sudah bercucuran dan menyatu, membuat tubuh kami berdua terasa licin. Tapi baik aku maupun Hendro tidak ambil perduli. Kami melakukan persetubuhan dengan hidmat dan penuh kenikmatan. Dan ketika kami akan mencapai klimaks, aku akhirnya hanya dapat mengangguk ketika Hendro memaksa untuk menumpahkan spermanya kembali di dalam memekku. Kembali rahimku diguyur air mani anak kandungku sendiri.
Setelah selesai, Hendro mau mengulangi lagi, tapi kutolak, karena kami belum mandi dan belum makan malam. Tapi aku tak bisa menolak ketika Hendro mengajak aku agar kami berdua mandi bersama. Di kamar mandi kembali Hendro menyetubuhiku dengan cara ‘doggy style’. Aku membungkuk dengan kaki terkangkang lebar, menghadap ke bak mandi. Tanganku mencengkeram bak mandi tersebut. Hendro lalu menyetubuhiku dari belakang sambil memelukku dan kedua tangannya meremas-remas tetekku yang bergelantungan dan bergoyang-goyang akibat tubuhku juga bergoyang-goyang digenjot Hendro dari belakang. Setelah ini kami selesaikan, baru kami mandi bersama.
Selesai mandi, kami makan berdua. Seperti pengantin baru, kami makan sepiring, saling suap. Setelah makan malam, kami kembali naik ke atas ranjang di kamar tidurku, dan sebelum tidur, kembali memekku dientot Hendro, sampai 3 ronde. Lalu kami berdua tidur dengan telanjang bulat sambil berpelukan. Keesokan harinya kami kembali berhubungan seks sampai dua ronde.
Hal itu kami lakukan berulang-ulang selama suamiku berada di luar kota. Bahkan setelah suamiku pulang, setiap ada kesempatan, Hendro pasti selalu menyetubuhiku. Karena setiap minggu, suamiku pasti mendapat giliran shift malam sebanyak 3 kali, berarti bertugas dari jam 8 malam sampai jam 8 ke esokan harinya. Dan setiap kali suamiku, mendapat giliran malam, maka Hendro akan datang untuk menyetubuhiku. Demikianlah, kebutuhan seksku terpenuhi dengan melayani kebutuhan seks suamiku dan anak kandungku sendiri. Dengan suamiku aku melakukannya dua kali seminggu, dan setiap kali melakukannya hanya masing-masing satu ronde. Selain itu, aku melakukannya tiga kali seminggu dengan Hendro, dan setiap kali kami lakukan selalu dua atau tiga ronde, bahkan sering juga sampai empat ronde. Pokoknya dalam seminggu, lima malam aku pasti berhubungan seks. Dan aku sangat bersyukur, sampai sejauh ini aku tidak menjadi hamil karenanya. Sebab apabila aku hamil, maka aku mungkin tidak akan mengetahui itu anak siapa. Suamiku atau Hendro anak kandungku sendiri.

One Response to “Aku dan Anakku”

Diberdayakan oleh Blogger.

Search